Mendisabilitaskan Manusia

Berangkat dari kisah Rasulullah memperlakukan kaum difabel, seharusnya manusia memang harus memandang sama derajatnya, karena Allah sejatinya tak pernah memandang akan rupa dan bentuk fisiknya seperti Surat Al-Hujurat ayat 13:

يايهّاالنّاس انّا خلقنكم من ذكروّانثى وجعلنكم شعوباوّقباىل لتعارفوا  انّ ا كرمكم عندالله اتقكم انّ الله عليم خبير(١۳)

Artinya:  Wahai manusia sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.[1]

Ayat tersebut menjelaskan dan membuka mata kita akan pentingnya takwa, karena sesungguhnya telah nampak dari sifat yang baik, dekat dengan Allah dengan memperbanyak ibadah dan dzikir itu lah yang paling baik di sisinya. Hadist riwayat bukhari muslimpun juga menjelaskan manusia yang mulia derajatnya tidak dilihat dari rupa atau bentuk tubuhnya. Namun hati yang bersih dari suatu mudharat itu lah yang dicari.

Dari kitab Imam Al-Ghazali : Ihya Ulumudin Jilid III, kita di perintahkan untuk selalu tunduk kepada Allah:

إنّ الله تعا لى أوحى إليّ أن توضعوا حتّىل لايفخرأحدعلى أحد

Artinya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadaku: bahwa merendahkan dirilah kamu, sehingga tiada menyombongkan seseorang terhadap seseorang[2]

 

Supaya tidak menjadi sombong perlulah berserah diri kepada Allah, nanti akan dapat menghormati sesama insan manusia. Manusia memang seharusnya seperti itu tidak membanggakan diri karena memiliki segalanya apalagi memberikan stigma kepada masyarakat yang mempunyai kecacatan. Hal tersebut tidak akan di sukai oleh Allah SWT.

Manusia perlu merefleksikan diri memahami betul siapa yang disabilitas selama ini, apakah orang yang mempunyai kekurangan fisik telinga tidak bisa mendengar, mata tidak bisa melihat, dan mulut tidak bisa berbicara. Hal tersebut harus dimaknai dengan betul. Allah telah menjelaskan secara jelas tentang makna tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 18:

صمّ بكم عمي فهم لايرجعون(١۸)

Artinya: Mereka tuli, bisu dan buta sehingga mereka tidak dapat kembali.

Dalam Tafsir Jalalain jilid 1 di jelaskan tentang bagaimana makna dari ayat tersebut صمّ (mereka tuli) terhadap kebenaran, maksudnya tidak mau menerima kebenaran yang didengarnya- بكم(bisu) terhadap kebaikan hingga tidak mampu mengucapkanya عمي(buta) terhadap jalan kebenaran dan petunjuk Allah sehingga tidak dapat melihatnya[3]

Senada dengan tafsir Jalalain, tafsir Al-Maraghi Allah menyatakan sifat-sifat tersebut untuk mereka. Sekalipun alat-alat indra mereka masih tetap normal, bisa mendengar berbicara tak bisa memanfaatkan sebaik mungkin[4]. Dengan kata lain mereka menutup diri akan nasihat-nasihat yang baik tak mau mendengar hal yang baik, tidak memahami maksudnya akan tetapi seolah-olah menjadi orang yang mendengar. Mereka juga kehilangan lisanya, karena mereka tidak mau mengucap kata-kata hikmah (hal yang baik), tak pernah bertanya dalam menghadapi suatu kesulitan yang mereka hadapi, sama saja dengan bisu karena tidak bisa memanfaatkan lisanya. Hilang nya penglihatan karena tidak bisa melihat masalah yang menimpa masyarakat di sekitarnya. Jelasnya, semua indra yang ada pada diri mereka tak berfungsi sebagaimana mestinya.

Dapat disimpulkan orang cacat fisik bukanlah orang yang kekurangan dalam indra penglihatanya, namun orang yang buta, tuli dan bisu orang yang tak mampu melihat kondisi di masyarakat, hanya terdiam ketika menghadapi suatu masalah. Lisannya tak bergerak, matanya tertutup materialisme, telinganya di pergunakan mendengar tapi seolah tak bergeming melihat permasalahan disabilitas.

Mereka tenggelam dalam ambang kebingungan dan kesesatan tak sadar apa yang telah mereka perbuat. Sebab siapapun telah kehilangan alat indranya karena tak mempergunakan semestinya. Kaum minoritas sangatlah perlu di perhatikan terlepas akan kecacatan yang mereka sandang, sudah saatnya hati ini tergugah dengan banyak hal yang sudah mereka alami. Masyarakat pemerintah dan berbagai element masyarakat tidak memandang remeh kaum difabel. Karena sejatinya Allah menciptakan semua mahluk hidup dalam keadaan sempurna, (dalam keadaan sebaik-baiknya) yang sudah di jelaskan Al-Qur’an surat At-tin ayat 4:

لقدخلقناالانسان في ا حسن تقويم (۴)

Artinya: Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baknya.[5]

Allah telah memberikan sinyal (pertanda) manusia memang diciptakan dalam keadaan sebaik-baiknya mahluk hidup, fatamorgana (awang-awang) yang dilihat selama ini bahwa Allah menciptkan manusia dengan berbeda-beda dan tidak sempurna adalah suatu kesalahan. Karena sempurna menurut prespektif (pandangan) manusia dengan pandangan Allah tentang kesempurnaan sangatlah berbeda.

Sudah seharusnya kita berhenti membicarakan kejelekan dan kekurangan difabel. Pemberian hak kesetaraan bagi merekalah yang saat ini dibutuhkan, memberikan sumbangsih bagaimana menciptakan sebuah rumah ibadah yang inklusi yang terjangkau bagi kaum difabel maupun manusia reguler (normal). Akses tersebut akan memberikan kepercayaan masyarakat difabel untuk menampakan diri di lingkungan masyarakat, yang sebelumnya enggan untuk berkunjung ke rumah ibadah.

Oleh: M.Ilham Nurhakim

[1] Al-Qur’an. Al haram Al-Qur’an Transelitrasi Per Kata dan Tajwid Berwarna Edisi 1 Tahun 2016. Yogyakarta: PT. Iqro Indonesia Global

[2] Al-Ghazali, Imam. 1986. Kitab Ihya Ulumudin Jilid III terjemahan Ismail Yakub. Jakarta: C.V Faizan

[3] Tafsir Jalalain. 2012. Terjemahan Tafsir Jalalain Jilid 1 berikut Asbaabun Nuzulnya oleh Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Suyuti . Bandung: Sinar Baru Algensindo Hal 9

[4] Tafsir Al-Maraghi. 1992. Terjemahan Tafsir Al-Maraghi Jilid 1 oleh Ahmad Mushthafa. Semarang: PT. Karya Toha Putra Hal 95

[5] Al-Qur’an. Al haram Al-Qur’an Transelitrasi Per Kata dan Tajwid Berwarna Edisi 1 Tahun 2016. Yogyakarta: PT. Iqro Indonesia GlobalLTB – JuzsportsShops | Suède bomberjack in bruin – nike roshe run wolf grey boys hair color , Faoswalim – Bershka